Jumat, 05 April 2013

Sukses Dunia Akhirat



Keriteria Da’i Sukses Dunia-Akhirat  

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
قُلْ هذِهِ سَبِيْلِي أَدْعُواْ إِلَى اللهِ عَلَى بَصِيْرَةٍ أَنَا وَ مَنِ اتَّبَعَنِي وَ سُبْحنَ اللهِ وِ مَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ
Katakanlah, ‘Ini adalah jalan (agama)kuaku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak(kalian) kepada Allah berdasarkan ilmu (hujjah). Mahasuci Allahdan aku tiada termasuk orang-orang musyrik.’” (QS Yusuf: 108)
Ayat ini mengandung keriteria da’i yang apabila melaksanakan syarat yang dikandung, bisa dipastikan ia akan sukses dalam dakwahnya.
Firman-Nya, “قُلْ هذِهِ سَبِيْلِي (Katakanlah, ‘Ini adalah jalanku…’), yang ditunjukkan adalah apa yang dibawa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam berupa syariat: ibadah dan dakwah kepada Allah.
Firman-Nya, “إِلَى اللهِ (kepada Allah)”, karena da’i-da’i kepada Allah itu terbagi dua, yaitu:
  1. Da’i kepada Allah.
  2. Da’i kepada selain-Nya.
Da’i kepada Allah Ta’ala adalah orang yang ikhlas yang ingin menyampaikan manusia kepada Allah.
Sedangkan da’i (penyeru) kepada selan-Nya, bisa jadi menyeru kepada dirinya, ia menyeru kepada alhaq agar dibesarkan dan dimuliakan di tengah manusia. Oleh karena itu, Anda mendapatinya murka apabila manusia tidak melakukan apa yang ia perintah. Akan tetapi ia tidak marah jika manusia melakukan larangan (Allah) yang lebih besar darinya, namun ia tidak menyeru agar ditinggalkan. Dan boleh jadi ia menyeru (da’i) kepada pimpinannya, sebagaimana yang dijumpai di banyak negeri, berupa ulama-ulama sesat; dari ulama-ulama negara, bukan ulama-ulama (yang memperjuangkan) agama, mereka menyeru kepada pimpinan-pimpinan mereka. [Sebagai contoh adalah mereka berfatwa sesuai keinginan pimpinan dan negara merea, sebagaimana yang pernah terjadi pada pendeta-pendeta di zaman Yunani kuno tempo dulu yang padi akhirnya hancurnya agama dan masyarakat]. Di antaranya, ketika timbul “sosialisme” di negeri-negeri ‘Arab, bangkitlah ulama-ulama sesat yang berdalil dengan ayat-ayat dan hadits-hadits yang jauh dari pendalilan, bahkan tidak ada di dalamnya pendalilan. Maka mereka ini menyeru kepada selain Allah.
[Keterangan ini sekaligus sebagai sindiran kepada sebagian da’i-da’i organisasi tertentu yang semangatnya menyeru manusia agar berbondong-bondong masuk ke dalam organisasi mereka. Barometer kesuksesan mereka adalah apabila manusia sudah masuk ke dalam organisasi mereka, maka itulah kesuksesan menurut mereka. Adapun apabila manusia belum masuk ke dalam organisasi mereka, meski orang-orang itu sudah melaksanakan agama dengan benar, maka belum dikatakan sukses. Wal’iyadzubillah.]
Siapa yang menyeru (manusia) kepada Allah, namun kemudian ia melihat manusia lari darinya, ia tidak putus asa dan meninggalkan dakwah. Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada ‘Ali rodhiyallohu ‘anhu:
اُنْفُذْ عَلَى رِسْلِك، فَوَ اللهِ، لَأَنْ يَهْدِيَ اللهُ بِكَ رَجُلاً وَاحِدًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ
Berlakulah santai. Demi Allah, Allah memberikan hidayah kepada seorang malalui kamu, itu lebih baik bagimu daripada onta merah.” [Riwayat Al Bukhori (III/134) dan Muslim (IV/1872)]
… Apabila ia menyeru kepada Allah namun tidak digubris, maka kemurkaannya karena alhaq tidak diikuti, bukan karena ia tidak digubris. Apabila ia marah dikarenakan ini, berarti ia menyeru kepada Allah.
Jika ada yang merespon seorang (saja), cukup. Akan tetapi jika tidak ada yang merespon pun, ia telah menggugurkan kewajibannya juga. Dalam sebuah hadits, “Dan seorang nabi sedangkan tidak ada seorang pun bersamanya.” [Riwayat Al Bukhori (IV/199) dan Muslim (I/199)]
Berikutnya, cukup dari berdakwah kepada alhaq adalah mentahdzir kebatilan, manusia faham bahwa ini haq dan itu batil. Karena apabila manusia diam dari menjelaskan kebenaran dan kebatilan disetujui bersamaan lamanya waktu, maka berbaliklah yang haq menjadi batil, dan yang batil menjadi haq.
Firman-Nya, “عَلَى بَصِيْرَةٍ (di atas ilmu)”, artinya ilmu. Maka dakwah ini mengandung ikhlas dan ilmu, karena kebanyakan yang merusak (citra) dakwah adalah tidak adanya ikhlas atau tidak adanya ilmu.
Bukanlah yang dimaksud ilmu dalam firman-Nya, “عَلَى بَصِيْرَةٍ (di atas ilmu)”, adalah ilmu syar’i saja. Akan tetapi ia mencakup:
  1. Mengetahui syariat (ilmu syar’i)
  2. Mengetahui kondisi objek dakwah
  3. Mengetahui strategi (metode) agar mencapai tujuan
Inilah yang disebut dengan hikmah.
[Yang biasanya terlupakan banyak da’i adalah no. 2 & 3. Sebagian mereka tidak memperhatikan dan menggubris 2 poin terakhir ini, padahal tidak kalah pentingnya dengan poin pertama. Maka sering kita jumpai mereka dengan sembrono menyampaikan dakwahnya sehingga malah memperkeruh masalah dan membuat orang-orang berburuk sangka dengan salafiyyun. Mereka tidak mau mencari strategi yang pas, menyamakan semua orang dalam lapangan dakwah. Padahal tidak demikian.]
Jadi, ia mengetahui hukum syar’i, mengetahui keadaan objek yang didakwahi, mengetahui jalan yang dapat menyampaikan kepada terwujudnya dakwah. Oleh karena itu, Nabishollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Mu’adz, “Sesungguhnya kamu akan mendatangi suatu kaum dari kalangan ahli kitab (Yahudi-Nasrani).” [Riwayat Al Bukhori (III/160) dan Muslim (I/50)]

Al Qolul Al Mufid ‘ala Kitab At Tauhid (hal. 84-85), Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaiminrohimahulloh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar